Kamis, 05 Maret 2009

PENGOLAHAN LELE ASAP DI KECAMATAN MUNGKA.


Kata pepatah “setiap kesulitan ada kemudahan, setiap hambatan pasti ada jalan”, benar adanya. Begitu juga yang dialami Drs. Hendra Triwarman (40 tahun). Disaat kesulitan pemasaran ikan lele segar karena over produksi yang menyebabkan harga jatuh, menimbulkan ide dan anugerah membuat lele asap.

Berawal dari produksi lele dari Kec. Mungka 5 – 7 ton/minggu dengan harga 10.000/kg, naik menjadi 10 ton/minggu yang dihargai 8500/kg, melonjak menjadi 20 ton/minggu tahun 2005 yang membuat harga anjlok 5000 – 4000/kg. Hal ini memacetkan lele 1 ton/minggu yang terbuang saja bila lele tersebut mati.

Berangkat dari masalah itu, Hendra begitu panggilannya memikirkan cara untuk menghindari kerugian itu. Pengawetan ikan lele dengan pengasapan (red;salai)merupakan bentuk solusinya. Mulailah ia mencoba-coba membuat dan memasarkan lele salai tersebut.

Keyakinan produk lele salai tersebut dapat diterima selera konsumen, maka permintaan mulai meningkat. Permintaan rutin tidak saja dari lokal Payakumbuh dan sekitarnya, tapi juga dari propinsi tetangga. Saat ini langganan Jambi dan Riau meminta pasokan rutin 200 – 300kg/minggu. Sementara Batu Sangkar dan bukittinggi meminta stok 100kg/minggu, terang bapak 1 anak ini.

Ditemui Kontributor Tabloid Pertanian Suara AFTA di kolam perbesaran lele yang berdekatan dengan industri Lele salainya di Belakang Surau Gadiang, Kec. Mungka, Wali Nagari Mungka ini menceritakan ikhwal usaha Kelompok Maju Bersama yang dapat menyangga harga lele segar dipasaran tersebut.

Perbesaran lele konsumsi telah dimulai sekitar tahun 2002 di Mungka. Seiring keuntungan yang diperoleh petani, maka semakin banyak yang menggantungkan hidupnya pada usaha ini tanpa memikirkan daya tampung pasar. Sampai akhirnya terdapat sekitar 76 peternak lele dengan produksi 20 ton/minggu.

Kemampuan bertahan dari krisis harga memang sisi lemah petani. Secara perlahan sebagian besar rontok. Setengahnya masih bertahan sampai sekarang dengan 2 – 5 kolam/peternak. Keberadaan Lele salai juga ikut menahan kestabilan harga pasar. “Kalau lele tidak habis dipasaran, kita bersedia membeli dengan harga pasar” kata Sumando Faperta Unand ini.

Menurut ayah Kintan Puti Alami (8 tahun) ini, idealnya harga jual lele 11.000/kg (7 – 8 ekor/kg), karena modal lele 8500/kg. Dengan 10.000 bibit untuk kolam 7 X 8 meter, diberi makan pelet, maka 2 - 2,5 bulan telah dapat dipanen 1 ton lele. Minimal hasil bersih akan diperoleh 3 – 4 juta. Kata pemilik 12 kolam lele ini.

Wali Nagari terbaik I tingkat Kab. Lima Puluh Kota (2008) ini memanen 4 kolam setiap 15 – 20 hari sekali dari 20 kolam yang dimilikinya. Menghasilkan 4 – 5 ton dengan harga minimal 8500/kg. 1 ton diantaranya dijadikan lele asap dibawah label “Alami”, kata suami Linda Oktaviana. SP yang hobby membordir ini.

Dengan produksi lele salainya 400 kg/hari dan kapasitas maksimal 600 kg, Juara Wali Nagari Terbaik III tingkat Propinsi Sumbar (2008) ini memasarkan produk lele salainya 56.000/kg. Dengan kadar air 26 – 28% lele salainya dapat bertahan 3 bulan, sementara kadar air 30% dapat bertahan 1 bulan.

Atas usahanya mengembangkan produk olahan ikan yang meningkatkan daya saing produk ikan air tawar dan menyangga harga lele segar dipasaran, Hendra memperoleh Peringkat II dalam Lomba Teknologi Tepat Guna tingkat Kab. Lima Puluh Kota tahun 2006 atas rancangan oven pengasapan lelenya.

Mimpi Wali Nagari dengan 7 staf dan 6 jorong ini masih berlanjut untuk menciptakan pemasaran lele dan ikan salainya dengan menggunakan mobil box khusus yang dapat menjangkau pemasaran ketempat-tempat lain secara teratur. Keberadaan mitra pasar sangat diperlukan untuk menjamin distribusi dan mutu lele salainya.

Tidak ada komentar:

Obrolan

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x